Oleh:
Supiani
(Aktivis
Dakwah Serdang Bedagai)
Mediaoposisi.com- Papua masih memanas. Meski tak lagi ada
unjuk rasa, namun permasalahan Papua belum menemukan titik terangnya.
Disinyalir kerusuhan yang dilakukan mahasiswa Papua dilatarbelakangi tindakan
rasis aparat terhadap keengganan mahasiswa Papua mengibarkan bendera merah
putih di Surabaya. Bahkan diduga mereka membuang bendera yang dipasang oleh
pihak Muspika. (detik.com, 16/08/19)
Melihat begitu membuncahnya amarah
masyarakat Papua, tampaknya rasisme bukan satu-satunya penyebab. Dalam periode
ini, rasisme hanyalah pemantik bagi meluapnya emosi masyarakat Papua.
Ibarat
bom waktu, segala permasalahan yang dihadapi rakyat Papua; keluhan dan
keresahan yang tak kunjung mendapat penanganan solutif; lantas boom,
rakyat Papua meledak. Mereka tak dapat lagi menahan luahan emosi yang selama
ini mereka pendam demi tetap berada dalam lingkar persatuan Indonesia.
Permasalahan Papua jelas tak boleh
dibiarkan terus berlarut. Sebab melihat kondisi yang kian mengerikan, jelas
penyelesaian mesti segera disuguhkan demi menghilangkan amarah mereka.
Sayangnya, komunikasi yang dilakoni pemerintah selama ini belum juga mampu
membuahkan hasil yang berarti.
Juru bicara internasional Komite Nasional Papua
Barat (KNPB) Victor Yeimo menyatakan bahwa tokoh-tokoh yang diajak
berkomunikasi selama ini tak merepresentasikan pihak yang punya aspirasi
berbeda. Malah justru orang-orang yang oportunis yang selalu masuk ke konflik
Papua untuk kepentingan pribadi dengan penguasa. (cnn.indonesia.com, 31/08/19)
Referendum; Ada Apa dengan Papua?
Dilansir
dari tirto.id (30/08/19), para mahasiswa asal Papua dan Papua Barat menggelar
unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/19). Sebelum
bergerak ke Istana, mereka berdemonstrasi terlebih dahulu di Markas Besar TNI
Angkatan Darat.
Dalam aksi yang dipimpin oleh Ambrosius, sembari mengibarkan
bendera Bintang Kejora, menuntut pemerintah Indonesia mempersilahkan Papua
melakukan referendum. Hal itu sebagai upaya memutus mata rantai diskriminasi
dan rasisme terhadap Papua.
Masyarakat Papua pun selama ini
merasa bahwa mereka dijajah oleh negerinya sendiri. Bahkan, sebagaimana
postingan akun instagram fuadbakh (04/09/19), yang mengunggah potongan video
dari akun youtube KACAMATA PATRA bertajuk “AMBROS (Ketua DPW AMPTPI) Kenapa
Papua ada yang mau REFERENDUM?!”, menyajikan pengakuan Ambros atas
perlakuan pemerintah terhadap Papua.
Jalan-jalan yang dibangun hanyalah akan
membuka peluang investasi asing. Pembebasan lahan yang ada pun ganti ruginya
tak pernah ada. Dan apa yang dilakukan Presiden selama di Papua mengendarai
motor trail hanyalah sebuah pencitraan.
Sungguh ironi. Bumi Cendrawasih yang
terkenal dengan sumber daya alamnya, nyatanya justru mendapatkan
pendiskriminasian yang begitu luar biasa. Hal ini jelas bukanlah hal baru lagi.
Sebelumnya film dokumenter Sexy Killers juga telah menyajikan betapa geliat
pembangunan yang ada hanyalah kedok bagi kapitalis mengeruk SDA dan juga
pencitraan dari penguasa semata.
Menilik fakta yang ada, jelas
keinginan Papua untuk referendum bukanlah hal aneh lagi. Namun, yang mesti
menjadi fokus perhatian ialah adanya peran Barat dalam upaya separatisme ini.
Disintegrasi Papua jelas juga didorong oleh kepentingan Asing. Seperti yang
disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/19).
“Jadi kalau menurut saya, hanya
orang luar yang menginginkan Indonesia Pecah, dan opini tentang Bintang Kejora,
tuntutan referendum, Papua bukan Merah Putih sebagaimana diteriakkan oleh
sebagian demonstran itu, ya pasti kepentingan Asing, bukan kepentingan
Indonesia.” (tribunnews.com, 04/09/19)
Sebagai negara kesatuan, referendum
adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Namun sayangnya, pemerintah tak mau buka
mata atas apa yang dialami oleh Papua sehingga persoalan kian pelik.
Tak
tanggung-tanggung kekecewaan mereka terhadap pemerintahan di negeri Ibu Pertiwi
ini, sampai-sampai sejumlah mahasiswa Papua yang
tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan
Militerisme menyanyikan lagu Papua Bukan Merah Putih saat menggelar aksi
unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, sembari membawa
spanduk bertuliskan referendum dan sesekali meneriakkan “Free West Papua”.
(cnnindonesia.com, 02/09/19)
Referendum dan Islam
Sejatinya,
peristiwa memanasnya Papua adalah bentuk dari ketidakmampuan Penguasa hari ini
menjaga Papua yang menjadi tanggungjawabnya. Hal ini terjadi sebab kedaulatan
yang katanya berada di tangan rakyat nyatanya telah berpindah ke tangan-tangan
asing.
Hal ini menjadi dilematis sebenarnya. Mengingat keinginan referendum
juga jelas ada campur tangan Barat. Maka kini negara tengah di kepung oleh
serangan dari luar yang sama-sama merugikan kesatuan dan persatuan negeri
Indonesia itu sendiri.
Negara kini jelas tak punya power
untuk menghalau kedua ancaman tersebut. Sebab dengan sistem kapitalistik,
negara harus berkhitmad dengan Asing. Di tengah kisruh dan kemelut yang terus
membombardir Indonesia, jelas Papua kian menambah daftar pekerjaan rumah para
pemangku kuasa.
Namun, hanya sekedar menolak
referendum bukanlah solusi. Menerima pun sama saja melepas Papua untuk lebih
mudah dicengkeram oleh asing. Papua mesti disejahterakan.
Freeport yang berada
di wilayah mereka mestinya dikuasai dan dikelola oleh negara, bukan diserahkan
kepada swasta dan asing. Dan negara kembali kepada perannya yang sesungguhnya,
yaitu junnah dan pemelihara urusan rakyat. Bukan malah menjadi pion kekuasaan
bangsa lain.
“Berpegang teguhlah kalian semuanya
pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah
atas kalian saat dulu kalian saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan
kalbu-kalbu kalian. Dengan nikmat itu kalian ada di tepi jurang neraka. Lalu
Allah menyelamatkan kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya agar
kalian mendapat petunjuk. (TQS. Ali Imran: 103).
Wallahu’alam bish-showab.
Posting Komentar