![]() |
Oleh: Eka Muliasari, S.Pd
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Mediaoposisi.com- Pemberhentian dokter Terawan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI tanggal 23 maret silam, akhirnya ditunda. PB IDI
merekemonedasikan penilaian terhadap terapi metode digital Subtraction
Angiography (DSA) dilakukan oleh tim
Health Technology Assessment dibawah kementrian kesehatan, yang sampai saat ini
belum tuntas. Sebelumnya alasan
pemberhentian karena dianggap melanggar kode etik kedokteran, yaitu
mengiklankan diri dan menganggap metode penyembuhannya teruji.
Dokter terawan merupakan dokter spesialis radiologi. Penemuannya
tentang metode penyembuhan “cuci otak” untuk penyakit stroke atau penyakit
dalam telah banyak membantu pasien, bahkan tidak sedikit yang antri jauh jauh
hari hingga mencapai ribuan. dr. Terawan juga merupakan salah satu tim dokter
kepresidenan, sehingga bukan dokter yang bisa diremehkan kemampuannya.
Tidak
heran bila pasiennya banyak berasal dari kalangan mantan/pejabat tinggi negara, seperti Marzuki Ali, Try Sutrisno,
mahfudz MD, Hendropriyono, Aburizal Bakri, Dahlan Iskan dan masih banyak lagi.
Dokter Terawan bahkan memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus
Nordwest Jerman untuk mengenalkan metode cuci otak ini. Ia menjalani riset
bersama dengan para dokter Jerman. “ Ya, sekalian menunjukkan kesejajaran ilmu
orang Indonesia dengan teman-teman di Jerman.
Jangan samapai kami di Indonesia
hanya dianggap main ngeyel saja dan tidak ilmiah. Sedangkan negara lain sangat
menghargai.
Kalau bisa nagis, saya nagis tenan karena sedih”, ujarnya kepada
media. Lagi lagi aset anak bangsa
diapresiasi di luar negeri tapi direndahkan di negeri sendiri.
Bukankah sebelum kasus dokter Terawan, dokter Warsito juga
mengalami hal yang serupa. Metode penyembuhan kanker oleh Warsito dengan helm
listrik/ jaket listrik dilarang oleh Kemenkes, karena dianggap jauh dari
keamanan dan ilmiah.
Bukannya dilakukan riset atau mendampingi penyempurnaan
metodenya tapi justru malah dimatikan.
Menyikapi kasus ini, haruslah didudukan bahwa seorang dokter adalah
aset umat yang harus dijaga, diperhatikan, dan difasilitasi oleh negara demi
kepentingan umat. Oleh karena itu segala penemuan/ riset-riset baru yang mereka
cetuskan harus mendapat apresiasi dengan dukungan penuh.
Hal ini akan mendorong
mereka, para dokter bersemangat untuk terus bekerja dan berkarya. Dengan
demikian negara juga terbantu dalam mengatasi masalah kesehatan yang
membutuhkan inovasi-inovasi baru.
Sayangnya hal ini belum nampak oleh pemerintah,
yang terjadi justru para dokter ini menjadi korban buruknya paradigma
kepemimpinan negara terhadap rakyat. Negara terkesan tidak mau ambil pusing
dalam mengatasi persoalan umat, termasuk di bidang kesehatan.
Berdasarkan data izin edar yang diterbitkan oleh Kemenkes hingga
oktober 2017 menunjukkan sebanyak 92% (10893) izin dikeluarkan untuk impor alat-alat
kesehatan, sisanya 8% (966 izin) diberikan kepada alkes dalam negeri.
Ketergantungan impor alat kesehatan ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang
sekali dorongan dan dukungan terhadap inovasi inovasi anak negeri. Lalu siapa
yang diuntungkan dengan keterantungan ini?
Yang jelas bukan umat, melainkan
korporasi korporasi asing dibidang ini. Bukan karena tidak mampu, tapi lebih
karena penerapan ekonomi neolib oleh penguasa, dimana kepentingan korporasi
lebih diutamakan sehingga kepentingan umat harus tunduk pada kepentingan
korporasi, termasuk dalam bidang kesehatan ini.[MO/br]
Posting Komentar